Cara Bertani Cerdas

Buah Unggul. Diberdayakan oleh Blogger.
Setelah menunggu selama 8 tahun, tepatnya di tahun 2010 Made Supala mulai menjual varietas srikaya hasil penyilangannya yang diberinama Surix  dan Nona Sri. Nona Sri sendiri menjadi buah bibir bagi masyarakat untuk pertama kalinya saat di pajang dalam Pameran Pertanian Nasional yang digelar di Kota Denpasar tahun 2011. Sejak saat itu order bibit mulai bermunculan dari Medan, Jakarta, Jawa Timur, hingga ke Sulawesi Selatan. (ket foto : Made Supala & hasil persilanggannya Srikaya Lefyra)

Riky Hadimulya (45) pemilik nursery di Parung, Jawa Barat yang merupakan salah satu konsumennya, melakukan 2 kali order dengan pembelian masing-masing 150 buah bibit Nona Sri sebagai sampel seharga Rp 100.000 per pohon. "Panen yang pertama bagus, tapi pohon dari pesanan yang kedua lebih bagus lagi," ujarnya. 

Sedangkan Mujib pemilik nursery di Kudus telah 3 kali melakukan order sebanyak 100 pohon Nona Sri sebagai sampel dan bahkan sudah melakukan perbanyakan akan bibit Nona Sri sendiri. "Sekarang saya sudah perbanyak sendiri," katanya.

Hanya saja ada sebuah kelemahan yang dimiliki varietas jenis ini, tanaman hanya akan memberikan hasil buah yang optimal jika dibantu dengan penyerbukan buatan (campur tangan manusia), jika tidak maka hasil buahnya akan kurus / cacat dan tidak berbuah maksimal. Sebenarnya alat untuk mengambil serbuk sari telah berhasil dibuat untuk membantu penyerbukan buatan hanya saja alatnya harus di impor dari luar negeri. 

Kendala ini juga diutarakan oleh Riky, "jika kita harus melakukan peyerbukan buatan, itu akan sangat menguras waktu dan tenaga," katanya.

Selain masalah diatas, pemasaran produk juga menjadi sebuah permasalahan bagi seorang breeder, pasalnya varietas buah yang unggul belum tentu dapat terjual dan diterima di pasar. Pemilik varietas baru juga harus pintar-pintar dalam memasarkannya karena tidak jarang masyarakat masih ragu untuk membeli sebuah produk (varietas) yang belum dikenal. 

Menjual kepada nursery juga menjadi sebuah dilema, karena mereka bisa saja melakukan perbanyakan dari bibit yang dibeli dari Supala, "Dan saya tidak akan mendapatkan fee dari perbanyakan itu," ujar Made Supala. Padahal untuk menghasilkan sebuah varietas baru diperlukan investasi waktu dan uang yang tidak sedikit.

Melakukan paten untuk setiap varietas baru juga dirasakan kurang bermanfaat, pengurusan administrasinya saja sudah cukup rumit belum lagi pengurusan biaya untuk Hak Paten selama 25 tahun. Jika jumlah tanaman semakin sedikit atau ada varietas baru yang dipatenkan biaya yang akan dikeluarkan akan semakin banyak.

Untuk mensiasati hal itu Supala berupaya untuk memperlihatkan hasil persilangannya kepada pemerintah. "Saya berupaya untuk melakukan kerjasama dan mengenalkannya kepada para petani dan akan membatu pembiayaannya," ujarnya, namun sejauh ini belum ada tanggapan positif.

Tapi tantangan ini tidak membuat Made Supala berhenti menjadi seorang breeder, bahkan jika tidak bisa menjual varietas barunya ke pasar, dia berencana untuk menanamnya sendiri lalu menjuah buahnya. Salah satu varietas baru hasil persilangannya adalah Srikaya Lefyra yang merupakan persilangan dari Srikaya Pineapple dan Mulwo. Jenis Mulwo memiliki batu yang sangat banyak tapi pembuahannya tidak harus dibantu dengan penyerbukan buatan / bantuan manusia. Hasilnya didapat varietas srikaya dengan rasa yang enak dan warna kulit kuning sedangkan produktifitasnya menyerupai jenis Mulwo. "Kemungkinan tahun depan baru bisa dijual," katanya.

Baca juga 2 artikel sebelumnya : Berburu Varietas Unggul Baru dan Menjadi Breeder
Made Supala belajar pertanian bukan karena kemauannya sendiri tetapi lebih karena tidak memiliki pilihan lain. Tanpa uang Supala yang merupakan anak seorang petani ini terpaksa mendaftar di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) pada tahun 1972 lantaran biayanya gratis, “Saat pendaftaran saya hanya membawa jangkul,” Kata Made sambil tertawa mengenang. 

Setelah lulus Supala langsung bekerja sebagai seorang PPL di Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng. Dari pekerjaannya ini Supala mulai menyadari penderitaan para petani, “Jika petani tidak menanam buah unggul, tanaman hanya berbuah sekali atau kualitas yang dihasilkannya akan sangat rendah,” katanya. Dan masalah lain yang muncul, hanya sedikit orang yang mau berkecimpung sebagai pemulia tanaman, sedangkan petani sendiri tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk itu. Supala melihat permasalahan ini dan berusaha menjadi solusi.

Tidak bisa kembali sekolah karena pekerjaan yang dilakoninya, Made Supala mulai belajar sendiri (otodidak) pengetahuan sebagai pemulia tanaman. Waktu itu masih belum ada seminar dari universitas-universaitas tentang pemulian tanaman sehingga pada tahun 1998 dia memutuskan untuk datang ke IPB Bogor tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Disana Supala bertemu seorang mahasiswa dan meminta sebuah silabus tentang penyilangan tanaman.

Tidak mudah baginya untuk mempelajari pengetahuan baru yang dipelajarinya, terlalu banyak pengetahuan dasar yang tidak diketahui seperti taksonomi dan genetika. Dan dia mulai menjawab tantangan itu dengan membeli berbagai macam buku di Bogor, Semarang, Denpasar dan Yogjakarta, tetapi pertolongan justru lebih banyak didapatkannya dari kebun di dekat rumahnya yang juga sekaligus sebagai tempat praktek ilmu yang dipelajarinya.

Dengan segala keterbatasannya, Supala mulai melakukan uji coba menyilangkan jenis tanaman amphimixis dengan cara tradisional, mengambil serbuk sari di satu pohon dan memoleskannya di putik pada bunga pohon tanaman yang lain. Hal ini dilakoninya selama bertahun-tahun sebelum akhirnya mendapatkan hasil, “saya mencari tanaman amphimixis yang bereproduksi dengan cara fertilisasi antara jantan dan betina,” Kata Supala.

Jenis tanaman amphimixis hanya dapat menghasilkan buah dengan cara fertilisasi, dimana serbuk sari bertemu dengan putik bunga. Sedangkan kebalikannya adalah apomixes yang dapat berkembang menjadi buah walau tanpa fertilisasi contohnya buah mangis. Hal ini menjadikan jenis tanaman ini sangat sulit untuk disilangkan, “jika tanaman jenis ini disilangkan sulit untuk mengetahui apakah buah dan biji yang dihasilkan itu merupakan hasil persilangan atau hanya membawa bibit biasa yang hanya membawa gen tanaman aslinya,” katanya. Ini adalah mimpi buruk bagi seorang Breeder pasalnya butuh waktu bertahun-tahun untuk melihat tanaman berkembang.

Dengan keterbatasan informasi saat itu, tanpa internet seperti saat ini, sangat sulit untuk mengetahui jenis tanaman mana saja yang tergolong amphimixis dan apomixes. Satu-satunya jalan untuk mencari tahu hanyalah dengan jalan menanam sebanyak-banyaknya plasma nutfah di kebun miliknya, “kita bungkus bagian bunganya dengan kertas dan menghilangkan bagian serbuk sarinya, jika putik tetap berkembang menjadi buah berarti itu jenis
apomixes,” ungkapnya.

Made Supala mengumpulkan bibit dari berbagai tempat, ada yang dibeli dari nursery, dari teman temannya sesame pecinta tanaman dan terkadang dia mendapatkannya dengan mudah, ketika orang lain menganggap jenis tanaman itu tidak berharga tetapi baginya membawa gen potensial. Suatu hari di sebuah pameran dia mendapatkan tanaman sirsak berwarna kuning mencolok dengan jumlah biji yang sangat banyak dan pastinya akan sangat menggangu siapapun yang memakannya, apalagi rasa buahnya sangat hambar dijamin tidak akan ada yang menyukai buah ini. “Saya menyilangkan jenis ini dengan sirsak madu dengan harapan menghasilkan varietas baru dengan warna kuning pada bagian buah dan dagingnya tetapi rasanya manis seperti sirsak madu,” papar Supala.

Hasil eksperimen pertamannya adalah Srikaya Surix dan Nona Sri, keduannya merupakan hasil persilangan srikaya jenis Pineapple dengan san Pablo. Srikaya Pineapple memiliki tampilan kulit luar yang menyerupai buah nenas dengan rasa yang sangat manis, jumlah biji sedikit dengan warna daging yang berisi semburat berwarna kuning. Sedangkan San Publo adalah salah satu varian jenis Mulwo (annona reticulata), warna buahnya merah mencolok dengan kulit yang halus tetapi rasanya tidak begitu manis. Keduannya disilang dengan harapan akan mendapatkan varitas tanaman baru dengan rasa manis dari Pineapple dengan kulit yang lebih halus dan berwarna merah seperti San Publo.

“Untuk mendapatkan hasil diinginkan kita harus menyilangkan banyak buah,” ungkap Supala. Membutuhkan waktu sepuluh bulan untuk membesarkan jenis Pineapple sebelum siap disilangkan dengan San Publo. Tiga sampai empat bulan sejak disilangkan menunggu berbuah dan akhirnya mendapatkan bibit hasil persilangan, sekitar tiga tahun lebih menunggu bibit baru berbuah dan diseleksi mana yang paling potensial dari tampilan dan rasa, dari seleksi itu munculah jenis Surix dan Nona Sri. Dari segi tampilan keduannya mirip dengan warna merah hanya saja Nona Sri lebih besar dan kulit buahnya yang halus, ”Warna merah dan kulitnya yang halus dari Sun Publo, sedangkan dari tampilan titik-titik di kulit, rasa manis dan jumlah biji yang sedikit dari jenis srikaya pineapple,” katanya. Tetapi proses ini belum selesai, dia masih harus menunggu tiga tahun lamanya untuk memperbanyak bibit hasil seleksi tersebut. Dan Made Supala menpercayakan kepada beberapa petani Singaraja untuk melakukan perbanyakan tanpa satupun catatan yang mengarah kepadanya atas hasil eksperimen yang dilakukannya.

Bersamaan dengan itu Made Supala memutuskan untuk pensiun dini sebagai seorang PNS agar dapat berkonsentrasi bekerja sebagai seorang breeder / pemulia tanaman. Atas saran dari temannya dia memutyuskan untuk mengembangkan nurserynya dan membuka outlet penjualan bibit di Denpasar, Bali sekaligus sebagai tempat penyimpanan bibit hasil hobinya melakukan eksperimen di kebun miliknya. Dari nursery di Denpasar sedikitnya 5000 bibit telah terjual setiap tahunnya, sedangkan untuk menunjang kehidupan sehari-hari istrinya Made Supala sejak tahun 2006 menjual dodol yang merupakan salah satu makanan tradisional Bali.

Selain Srikaya dia juga melakukan persilangan pada buah sirsak, jambu, jeruk termasuk bunga Plumeria yang lebih dikenal dengan Jepun Bali. Salah satu eksperimen yang sedang dilakukannya adalah menyilangkan Jeruk Taiwan dengan jeruk lokal, “Jeruk asal Taiwan lebih manis tetapi yang local lebih tahan penyakit,” katanya. Namun yang menjadi kesukaannya adalah srikaya, hal ini terlihat dari banyaknya varietas srikaya yang berbeda yang ditanam di kebunnya, salah satunya adalah srikaya bima dari Sumbawa, jenis ini sangat cepat berbuah dengan jumlah biji yang sangat banyak. Sekarang dia menyilangkan jenis ini ke semua jenis srikaya yang dimilikinya.

(Artikel merupakan hasil traslate Majalah Tempo versi Inggris, selanjutnya ke Agronomi Amatir III)
Mentri pertanian yang baru sangat mengharapkan ketersediaan bibit varitas unggul untuk meningkatkan produksi pertanian/pangan di Indonesia. Sedangkan sementara ini produksi bibit unggul masih dimonopoli oleh perusahaan komersil dan lembaga penelitian Negara. Petani yang paling mengetahui varietas mana yang paling cocok dengan kondisi tanah mereka selama ini hanya bisa menerima apa yang disediakan, tanpa bisa mengembangkan bibit unggul sendiri walau mereka mampu melakukankannya, dengan modal terbatas. Beberapa pemulia tanaman secara mandiri telah mengambil inisiatif untuk meningkatkan genetika tanaman pangan dengan teknologi sederhana tanpa subsidi dari pemerintah. Berikut laporan majalah Tempo edisi bahasa inggris dari Bali dan Sulawesi Selatan.

Buah Srikaya Sempurna
PNS asal Buleleng, Bali belajar secara otodidak cara menyilangkan bibit unggul. Kini namanya sudah dikenal tidak hanya di Bali tetapi juga di Pulau Jawa.

Terdapat buah Srikaya yang tidak biasa bergelantung pada sebuah pohon buah unggul di sebuah nursery yang terletak di Kota Singaraja, Bali. Kulitnya berwarna merah kegelapan, tidak berwarna hijau sebagaimana warna buah srikaya (annona squamosa) asli asal Indonesia, beberapa bahkan tidak memiliki benjolan. Sebaliknya permukaanya sangat halus dengan beberapa titik kecil. Ketika dibuka, daging buah hampir sama dengan buah srikaya umumnya, berwarna putih. Rasanya sangat manis dan lembut seperti es krim.

Dilihat dari ukuran buah ini tergolong besar, hanya dengan dua atau tiga buah saja beratnya mencapai satu kilo gram. Pada srikaya biasa jumlah bijinya bisa mencapai 90 atau 100 butir namun srikaya dari Nursery ini justru sangat sedikit, tidak hanya itu daya simpannya pun bias mencapai seminggu sedangkan buah srikaya umumnya hanya bertahan tiga hari.

Dengan kelebihan ini Srikaya Nona Sri menjadi incaran para kolektor buah di Bali dan pulau Jawa. Mujib Bambang Suroso (50), pemilik Sari Puspa Nursery di Kudus, Jawa Tengah mengatakan Nonasri menjadi produk terlarisnya sejak mulai dijual olehnya. “Dalam satu bulan kita bias menjual 25 bibit,” katanya.

Sebuah Perusahaan Internasional yang bergerak di bidang retail buah-buahan juga sempat menawarkan kerjasama. “Mereka bilang akan mengambil sebanyak dan seharga berapapun,” ungkap Made Supala (59), yang merupakan pemilik tanaman Srikaya yang dijual di Nursery milik Mujib Bambang Suroso. Namun saat itu dia menolak permintaan tersebut, “saat itu saya masih melakukan pengembangan untuk mendapatkan varitas baru lainnya.”

Made supala memang dikenal sebagai seorang pemulia (breeder) tanaman buah, sebuah profesi yang sangat langka di Indonesia. Sedikitnya dia telah mengembangkan enam varietas baru buah srikaya, sirsak dan jambu biji. Prof. Made Sri Prana, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang bergerak di bidang penelitian bioteknologi mengatakan sangat sulit menemukan seorang yang bekerja sebagai breeder di Indonesia karena butuh waktu yang sangat lama untuk membuahkan hasil. “Made Supala tergolong orang yang tekun, walau banyak rintangan dia tetap bertahan,” kata Made Sri Prana, yang telah mengenal petani dari Buleleng, Bali ini cukup lama.

Made Supala mungkin satu-satunya pemulia tanaman buah srikaya yang ada saat ini.  “Saya sempat meminta dia untuk menulis sebuah buku supaya kita semua bisa mengetahui dan belajar apa saja yang telah diketahuinya dari pengalaman-pengalamannya selama menjadi pemulia tanaman,” kata Mujib yang telah mengelola nursery selama 30 tahun lamanya. Pusat penelitian biasanya melakukan experiment terhadap tanaman musiman karena periode lebih cepat, menyilangkan buah sumangka contohnya, hanya butuh enam bulan untuk melihat hasilnya. Hal ini sangat kontras jika membandingkan dengan usaha Made Supala yang membutuhkan waktu delapan tahun untuk menghasilkan satu varietas baru tanaman srikaya. (Artikel merupakan hasil traslate Majalah Tempo fersi Ingris, selanjutnya ke Agronomi Amatir II)
Lama tidak muncul kali ini kita coba sedikit tentang Jambu Bol Granada dan pendahulunya Jambu Bol Jamaika yang sudah  mulai dikenal luas.

Berbekal dua pohon Jambu Granada yg baru belajar berbuah, dibandingkan dgn Jambu Jamaika secara kasat mata dari ukuran dan warna bagian luar terlihat tidak ada perbedaan. Tetapi begitu dibelah terlihat nyata ukuran daging buah Jambu Granada lebih tebal dengan biji yg lebih kecil, bisa dilihat di gambar sebalah kiri Granada dan yang kanan Jamaika.

Perbedaan kedua dengan daging yg lebih tebal dan daya tahan simpan juga lebih tahan. Kalau Jambu Jamaika tahan sekitar 2-3 hari setelah di petik saat matang, Jambu Granada bisa 3-4 hari, jangan samakan dengan sodaranya jambu air seperti Jambu citra ya he3,.. untuk yang komersil untuk meningkatkan daya tahan bisa dipetik sebelum benar-benar matang, sekedar info harga buah Jambu Jamaika di Pasaran saat ini berkisar Rp 25 - 30 ribu per kilo nya.

Perbedaan ketiga ada pada rasa, kayaknya ini yang paling penting tujuan dari menanam tanaman buah yang utama kan mencari rasa buahnya he3,.. Buah Granada rasanya benar-benar manis tanpa rasa kecut, sedangkan Jamaika masih memiliki rasa kecut sedikit.

Kalau ada yang bertanya apa ada jenis jambu sejenis lainnya yang lebih potensial.? maka jawabannya ada, dari hasil rekayasa Buah Unggul sudah berhasil mengembangkan Jambu Granada dengan ukuran yang lebih besar, tebal dan pastinya lebih berat bisa juga disebut Super Granada. Tapi maaf ya yang ini belum dipasarkan he3,..
Petani asal Buleleng mendapatkan perhargaan tingkat Nasional sebagai pelestari Sumber Daya Genetik (SDG) Tanaman Pertanian, yang diberikan langsung oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Dr. Haryono pada Kongres Nasional V dan Seminar Nasional Sumber Daya Genetik Pertanian di Hotel Sanur Paradise Denpasar Bali, Rabu (25/6/2014) kemarin.

Dalam kondisi iklim yang terus berubah, eksistensi sumber daya genetik saat ini sangat rawan dan langka, bahkan ada yang telah punah. Untuk itu, peningkatan nilai tambah SDG memegang peranan penting dalam menjaga kelestariannya. Pembabatan hutan untuk dijadikan lahan sawit dan alasan lainnya menjadi topik hangat saat diskusi karena bertanggung jawab atas terhapusnya jutaan plasma nutfah sebagai sumberdaya genetik.

Dalam acara tersebut Kepala Balitbangtan sangat mengapresiasi atas keberhasilan 10 petani dalam melestarikan SDG tanaman pertanian. Sepuluh petani tersebut adalah H. Ahmadul Marzuki dari Kalimantan Selatan, Drs. Made Supala dari Bali (posisi tengah dalam foto), Ir. Sapirim, MM dari NTB, Hamsadi dari Kalimantan Timur, Wawan Kustiawan dari Jawa Barat, Budiansyah dari Kalimantan Barat, Ir. Dian Rossana Anggraini dari Bangka Belitung, Samanhudi dari Jawa Timur, Suyatno dari Lampung dan Lasmadi dari Kalimantan Tengah.

Dari 10 orang tersebut H. Ahmadul Marzuki (sebelah kiri foto pada atas) yang fokus melestarikan SDG tanaman langka di Kalimantan Selatan yang terkenal dengan keaneka ragaman hayati mendapatkan nilai tertinggi dari tim penilai yang disusul dengan posisi kedua oleh Made Supala (posisi tengah) dengan melestarikan tanaman buah langka dan posisi ketiga diraih Sapirim (paling kanan) dengan melestarikan tanaman obat-obatan.

Selain sebagai pelestari, Made Supala juga dikenal sebagai pemulia tanaman buah yang masih langka di Indonesia, salah satu silangan yang terbarunya adalah Srikaya Lefyra yang berwarna kuning dengan  rasa manis, dan tidak kenal musim, Jambu Bol Hitam yang diperbesar dari ukuran aslinya (300 gram jadi 600 gram) dengan sistim pemuliaan poliploidi dan Pisang Kepok yang tahan terhadap penyakit layu.
Srikaya Lefyra dipamerkan oleh Ir. Sri Wijayanti Yusuf, M.Agr.Sc Direktur Perbenihan Hortikultura, Dirjen Hortikultura Deptan, dan Prof Dr Sobir Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB (paling kanan).
Dikonfirmasi terkait kegitan tersebut, Made Supala mengajak masyarakat untuk melihat potensi lain dari sebuah tanaman, tidak hanya sebatas nilai ekonominya saja. "Ada dua nilai yang dimiliki oleh tanaman, pertama yang memiliki nilai ekonomi dan kedua tanaman dengan potensi ekonomi. Contoh yang saat ini saya kembangkan, jambu bol putih rasa kecut dengan ukuran jumbo memanjang seperti mentimun dan jambu bol hitam dengan nilai ekonomi tetapi memiliki kekurangan tidak tahan simpan, disini kita memodifikasi sifat tanaman supaya lebih baik lagi atau mengambil sifat yang kita inginkan dari buah itu," papar Made Supala. (lz)